Wednesday, April 13, 2011

Nich Pipi Kiriku juga...

Matius 5:38-48


Ketika hatiku t’lah disakiti
Ajar ‘ku mengerti arti mengampuni
Ketika hidupku t’lah dihakimi
Ajar ‘ku memberi hati mengasihi

Sebuah lagu pop rohani yang populer dan bahkan familiar bagi kita semua. Sebuah lagu yang memiliki lirik sempurna. Mengapa? Lirik lagu tersebut mampu membawa kita pada kesadaran bahwa demikianlah adanya di dunia ini, ada waktu dimana hati kita disakiti, ada waktu dimana hidup kita dihakimi. Itu adalah realita kehidupan yang tidak mampu untuk disangkal dan bahkan tidak mampu untuk dihindari. Namun lirik lagu tersebut juga menunjukkan pentingnya pengampunan, pentingnya memberi hati mengasihi. Apa buktinya? Kita meminta pada Tuhan untuk mengajari kita mengampuni, tentu agar kita mengerti arti mengampuni ketika hati kita telah disakiti. Kita meminta pada Tuhan untuk mengajari kita mengasihi, tentu agar kita memberi hati mengasihi ketika hidup kita telah dihakimi. Seberapa sering kita mengalami realita yang tidak mengenakkan dan membuat kita meminta kepada Tuhan untuk mengajari kita mengampuni dan mengasihi? Namun juga seberapa sering kita berpikir atau merasa bahwa kita tidak cukup mampu untuk melakukannya walaupun kita tahu bahwa Tuhan telah mengajarkan pada kita arti pengampunan dan mengasihi tiada batas. “Aku ini manusia biasa, bukan malaikat, apalagi Tuhan…” sebuah contoh kalimat dari sekian banyak kalimat lain yang sering kita ucapkan, yang sebenarnya tergolong dalam upaya pembenaran diri dari tetap berlakunya pembalasan dendam, tetap berlakunya sikap dan tindakan membenci sesama yang membenci kita. Apakah sikap dan tindakan pembalasan dendam, apakah sikap dan tindakan membenci sesama yang terlebih dahulu membenci kita, merupakan hal-hal yang kita anggap sebagai hal-hal yang wajar untuk terjadi? Sebagai hal yang biasa untuk terjadi? Sebagai hal yang dapat ditolerir? Apakah demikian?    

Hukum formal yang berlaku saat itu adalah: mata ganti mata, gigi ganti gigi. Segala bentuk tindakan kejahatan akan dijatuhi hukuman yang setimpal dengan tindakannya tersebut. Ada sebuah negara yang masih memberlakukan hukuman yang demikian, apabila tertangkap mencuri, maka tangannya akan dipotong. Terkesan kejam dan tidak manusiawi, tetapi pemberlakuan hukuman yang demikian mampu membuat warganya menjadi berhati-hati dan mawas diri agar tidak melakukan kesalahan. Namun bagaimana atmosfer kehidupan yang demikian? Apakah dapat dirasakan damai sejahtera apabila dirundung ketakutan pada hukuman yang berlaku? Bagaimana dengan atmosfer kehidupan yang diperintahkan oleh Yesus untuk kita ciptakan? Pada ayatnya yang ke 39, Yesus melarang kita untuk melawan orang yang berbuat jahat kepada kita. Digunakan kata “jangan” di sana. Sama halnya ketika kita mendengar larangan “Jangan mencuri”, “Jangan membunuh”, dan lain sebagainya. “Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu”. Larangan tersebut tidaklah diberikan sebatas itu. Ketika Yesus menyampaikan larangan tersebut, Yesus juga menyampaikan perintah. Perintah yang tentunya mendukung sebuah larangan yang telah disebutkan sebelumnya. Dikatakan sebagai perintah karena di sana digunakan bentuk imperatif, seperti “berilah”, “serahkanlah”, dan “berjalanlah”. Perintah tersebut diungkap pada ayat 39b sampai dengan ayat 42. Apakah perintah tersebut mudah untuk direalisasikan? Tidak! “Siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu”. Adakah yang hobi tampar-menampar? Atau paling tidak, pernah menampar dan ditampar? Kira-kira apa yang menjadi penyebab kita menampar seseorang ataupun kita ditampar seseorang? Apakah karena menjengkelkan? Apakah karena kurang ajar? Apakah karena berkata-kata kurang pantas? Saya teringat saat dulu masih kelas 1 SD, pipi saya pernah ditampar oleh ayah saya dengan menggunakan sandal. Suakiiit, panasss, pipi memerah tapi untungnya tidak berdarah. Mengapa saya ditampar? Karena saya misuh. Satu kata kotor saja membuat sengsara. Pipi menjadi membiru berhari-hari, dan saya pun sampai susah berbicara karena menggerakkan bibir saja menjadi sakit. Tamparan di sini memiliki arti sebagai hukuman, agar saya mengerti bahwa misuh adalah hal yang tidak baik. Apakah tamparan di sini memiliki arti yang sama dengan hal tampar-menampar yang disampaikan oleh Yesus pada ayatnya yang ke 39? Tidak! Sangat berbeda. Perihal tampar-menampar yang disampaikan oleh Yesus adalah terkait dengan orang yang berbuat jahat kepada kita. Orang berbuat jahat pada kita bisa terjadi karena apa saja, tidak harus karena kita terlebih dahulu berbuat jahat kepadanya. Kita ngga ngapa-ngapain saja bisa dijahatin orang kok. Namun juga bukan berarti bahwa kita boleh berpikir atau merasa bahwa diri kita selalu benar, tidak pernah bisa salah, yang salah ya orang lain, yang jahat ya orang lain. Secara psikologis, orang yang terkena tamparan pasti geram. Namun kemungkinan respon terhadap kegeraman itu yang berbeda-beda. Ada yang balas tampar, bahkan membalas lebih keras, ada yang menunduk dan menangis, ada yang diam saja tapi kemudian melaporkan pada pihak lain, dan sebagainya. Tetapi Yesus mengatakan, “berilah juga kepadanya pipi kirimu”. Ditambah lagi dengan contoh lain yakni mengenai beri jubah, berjalan 2 mil, memberi pada orang yang meminta pinjaman. Perintah Yesus bukanlah perintah yang mudah untuk dilakukan, tetapi juga bukan perintah yang mustahil untuk dilakukan. Yesus tidak memerintahkan kita untuk diam saja terhadap orang jahat. Yesus tidak memerintahkan kita untuk pasrah saja terhadap orang yang berbuat jahat pada kita. Yesus memerintahkan lebih dari sekadar diam saja atau pasrah. Yesus memerintahkan kita untuk berbuat kasih pada mereka. Ketika mereka minta baju, kita beri jubah. Ketika mereka meminta kita berjalan satu mil, kita bersedia berjalan dua mil. Ketika mereka meminjam apa yang menjadi milik kita, kita tidak menolaknya. Itu semua adalah bentuk kasih. Kasih yang demikian bukanlah tindakan yang sia-sia, bukanlah tindakan yang bodoh, bukanlah tindakan yang menyengsarakan. “Tapi kan kasih itu perlu ketegasan, kasih itu harus mendidik…” seringkali kita berkata demikian. Yesus berkata “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu…” Apa artinya? Kita sebagai manusia yang memiliki keterbatasan, kita tetap dituntut semaksimal mungkin berbuat kasih pada sesama yang tidak berbuat kasih pada kita, namun lebih dari itu, kita harus mendoakan mereka. Wah boro-boro mendoakan mereka, mengingat-ingat saja males!! Memang seringkali itulah yang kita rasakan. Kita cenderung menjauhkan diri dari mereka, karena kita tidak menginginkan mereka berbuat jahat lagi pada kita. Siapa sich yang suka dijahatin orang? Tidak ada! Yesus tahu itu. Oleh karena itu, Yesus memerintahkan kita untuk mendoakan mereka. Ini merupakan bukti bahwa kasih adalah sesuatu yang harus terus diperjuangkan. Lantas, yang dimaksudkan oleh Yesus itu mendoakan yang seperti apa? Mendoakan yang bagaimana? Mendoakan supaya apa? Isi doa yang kita panjatkan pada Bapa mengenai orang-orang yang menganiaya kita tidak berarti bahwa kita sedang menjudge mereka sebagai orang yang jahat, tidak berarti bahwa kita sedang meminta hukuman atau balasan pada Bapa untuk ditimpakan pada mereka, tidak berarti bahwa kita mengucap syukur karena kita tidak jahat seperti mereka, juga tidak berarti bahwa kita mempertanyakan kebaikan Bapa pada mereka yang jahat. Dikatakan pada ayat yang ke 45 bahwa Bapa yang di sorga juga menerbitkan matahari bagi orang yang jahat, dan menurunkan hujan bagi orang yang tidak benar. Sepertinya kok ngga adil. Inilah bentuk kasih. Kasih tidak pilih-pilih, kasih tidak mengenal batas atau sekat apapun. Kasih lahir dari ketulusan.

Yesus menginginkan kita bersikap dan bertindak melebihi orang lain, melebihi orang-orang yang tidak mengenal Allah. Terbukti pada ayatnya yang ke-47. Yesus mengatakan, “Apakah lebihnya daripada perbuatan orang lain?” Kita perlu ingat bahwa kita bukanlah manusia yang biasa-biasa saja di mata Bapa di sorga. Kita adalah anak-anak Bapa di sorga. Itu kekhususan kita. Itu keunikan kita. Itu yang spesial dari kita. Oleh karena itu Yesus menuntut bukti nyata dari kekhususan status kita, keunikan, dan kespesialan kita di mata Bapa di sorga. “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna…” Perkataan “Aku kan manusia biasa, aku kan bukan malaikat, apalagi Tuhan…” tidak lagi relevan bagi kita sebagai anak-anak Bapa di sorga, karena kita memiliki kemampuan untuk sempurna, sama seperti Bapa kita yang di sorga adalah sempurna.


Makin serupa Yesus, Tuhanku, inilah sungguh kerinduanku
Makin bersabar, lembut dan merendah, makin setia dan rajin bekerja.
Reff:
Ya Tuhanku, kubrikan padaMu hidup penuh dan hatiku seg’nap
Hapuskanlah semua dosaku,
Jadikanlah kumilikMu tetap…



Madiun, 19 Februari 2011


ChiaChara

No comments:

Post a Comment