Thursday, May 19, 2011

NO HIGH HEELS FOR A WHILE = GOING TO THE TOP OF LAWU MOUNTAIN!!!

No High Heels for A While = Going to the Top of Lawu Mountain!!!
(Sebuah Refleksi Selama 61.200 detik)

Hidup dalam keseharian yang jarang tidak menggunakan sepatu high heels, yang acapkali menimbulkan perbincangan “di belakang” -bisa jadi karena model/warna sepatunya, bisa jadi karena manusia yang menggunakannya (saya), bisa jadi karena pemrakarsa perbincangan memang berhobi menggosip, dst-, ternyata tidak selalu mampu disejajarkan dengan feminitas sang pengguna/pemakai sepatu high heels. Dua hari kemarin dan kemarin (baca: 17-18 Mei 2011), bersama dengan duabelas pendaki yang lain, saya harus rela meninggalkan high heels dan berganti dengan kets. Dengan berbekal seadanya (satu ransel saja; supaya tidak membebani diri saat mendaki), saya pun berangkat mendaki Gunung Lawu. Pendakian kami dimulai persis pukul 19.30 (bukan WIB, tapi waktu warung yang berada di depan pintu gerbang).  
Sedari SD hingga SMA, bidang studi “Olah Raga” bukan hanya merupakan nightmare bagi saya karena saya harus selalu mengikuti remidi setiap ujian-ujiannya, tetapi juga karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan bagi saya untuk melakukannya; ada sedikit masalah dengan vertebrae thoracalis saya. Sudah barang tentu banyak orang yang meragukan kebisaan saya mendaki Gunung Lawu setinggi 3.260 m, dengan total perjalanan naik-turun gunung 13 km, dengan rute dan medan pendakian yang dikategorikan oleh seorang pendaki profesional -yang sudah 80 kali lebih mendaki Gunung Lawu- sebagai rute dan medan yang sukar. Jangankan orang lain, wong diri saya sendiri saja ragu… Waduh, cilaka!! Bisa berabe nich tanpa adanya kepercayaan diri!!! Kepercayaan diri bukanlah hal yang mudah untuk diterapkan oleh setiap orang, sehingga seringkali membangun sebuah kepercayaan diri dikategorikan sebagai perkara penting yang banyak dibukukan atau diperjual-belikan; entah demi uang, entah demi “jam terbang” sang penulis, entah demi para pembaca supaya (paling tidak) terinspirasi dan termotivasi untuk membentuk kepercayaan diri. Seberapa penting sebuah kepercayaan diri? Di manakah letak peranan sebuah kepercayaan diri dalam setiap aspek kehidupan manusia? Seberapa besar perbedaan kinerja yang dihasilkan oleh seseorang terkait dengan peranan adanya kepercayaan diri dan tiadanya kepercayaan diri? Kapan sebuah kepercayaan diri dapat dibangun? Apakah dapat sewaktu-waktu dan atau dalam tempo singkat? Dasar Erchia, nekat aja mendaki Gunung Lawu; apakah akan berhasil sampai di puncak tanpa adanya kepercayaan diri?!
Setapak demi setapak, sudah berjalan sekilo lebih… tapi, belum ada juga tanda-tanda adanya gubuk peristirahatan yang pertama. Gawat… sudah mulai resah, gelisah, putus asa… sedang suhu semakin dingin saja (mencapai 280,15 K atau 5,6º R atau 44,6º F; alias 7º C), padahal katanya medan pendakian pra pos 1 adalah medan yang paling mudah dari keseluruhan, meski sepanjang 1,9 km. Selamat Erchia!! Anda sedang melakukan perjalanan menjemput maut!!! Betapa tidak saya menganggapnya sebagai perjalanan menjemput maut, medan yang paling mudah saja sudah membuat saya resah, gelisah, dan merasa putus asa!!! Namun… apa yang bisa saya lakukan? Jelas tidak ada pilihan lain kecuali berjuang sekuat tenaga mendaki sampai ke puncak, yakni dengan cara mengelola diri bertahan di tengah situasi dan kondisi yang mencekam, bahkan seakan menuntut saya untuk bekerja di luar kapasitas kerja saya… Dan jelas… tidak ada pilihan lain kecuali memasrahkan diri seutuhnya pada Tuhan sembari berjuang keras mengatur nafas dan langkah saat mendaki tak henti… Seberapa sering kita mengeluh, mengeluh, dan mengeluh ketika berada dalam situasi yang sukar dan terjepit? Seberapa sering kita menyalahkan orang lain bahkan Tuhan sebagai penyebab dari adanya situasi sukar yang mendera kehidupan kita? Seberapa sering kita protes dan merengek pada Tuhan tentang kesulitan-kesulitan yang seakan tidak pernah tidak betah untuk tinggal dalam kehidupan kita?
Ternyata tak banyak yang bisa diharapkan dari kesempatan untuk singgah di pos 1, karena 5 menit saja berhenti berjalan, semakin kedinginan!!! Sesegera mungkin kami pun melanjutkan pendakian. Oh my God!!! Medan pendakian yang real pun akhirnya terasa!!! Batu-batu ngga jelas ukurannya tertumpuk-tumpuk ngga jelas juga, sehingga perlu berpikir terlebih dahulu sebelum melangkahkan kaki ke batu yang lebih tinggi (batu yang berikutnya). Sakjane iso turu enak nang omah bengi-bengi ngene, lha kok malah pencilak’an nang Lawu!!! Oalahhh…!!! Salahe dewe!!! Lapo ga milih turu!!! Kehidupan selalu menawarkan beragam pilihan… Berapa banyak pemilihan yang kita lakukan tanpa terlebih dahulu berpikir panjang; berpikir mengenai beragam kemungkinan konsekuensi yang dapat terjadi pada diri kita atau dapat kita terima? Berapa banyak pemilihan yang kita lakukan akibat dari tergiurnya diri kita pada “promosi-promosi” dan atau opini dari orang lain? Berapa banyak pemilihan yang kita lakukan demi menjauhkan diri (walau sejenak) dari tanggungjawab yang berat menekan kehidupan kita; padahal belum tentu juga hasil dan konsekuensi dari pemilihan itu lebih menyenangkan/mengenakkan dari tanggungjawab milik kita? Ah… dasar skeptis!!! Terlebih penting yang perlu untuk kita tanyakan pada diri kita: sudahkah kita selalu bertanya dan melibatkan Tuhan dalam setiap pemilihan yang kita lakukan? Sudahkah kita meminta pada Tuhan untuk menguatkan dan meneguhkan diri kita lantaran ternyata kita berpikir bahwa pilihan kita salah dan merugikan? Sudahkah kita meminta Tuhan untuk mengulurkan tangan pemeliharaan kasihNya ketika kita berpikir bahwa kita sedang dirundung kesulitan yang bertubi-tubi? Ataukah… jangan-jangan kita-nya aja yang tidak peka terhadap uluran tanganNya?!?
Kami pun terus mendaki setelah melihat pos 2, karena akan semakin kedinginan kalau terlalu banyak berhenti. Medan pendakian semakin curam!!! Arrrggghhh!!! Paha dan betis uda kram ga karuan!!! Yang tadinya saya enggan untuk banyak bicara –inginnya supaya hemat kalori, saya pun akhirnya mulai bicara lantaran tidak tahan dengan curamnya batu-batu yang saya injak; saya mulai mengomel… mengomel… dan terus mengomel… Support dari para pendaki lain tidak mampu mengentikan omelan saya!! Haha… memalukan!! Eh tapi biar aja, itu cara saya mengalihkan perhatian… biar capeknya ngga terasa, makanya ngomel terus… Toh akhirnya berkat omelan sepanjang pendakian, saya pun dapat berhasil sampai puncak!! Hip hip hura!!! Setiap orang punya caranya masing-masing ketika berhadapan dengan kesulitan atau persoalan hidup… Nah, tapi… sebenarnya itu juga bukan alasan untuk nyuekin keberadaan orang lain yang barangkali sedang mensupport kita, sedang berempati pada kita, sedang berupaya menolong kita… Seberapa sering kita berpikir bahwa kita punya cukup kekuatan dan kemampuan untuk mengatasi masalah kita sendiri? Seberapa sering kita berpikir bahwa kita enggan menerima pertolongan dari orang lain lantaran kita menganggapnya tidak begitu berarti? Ouch, ouch… Ngga laku dech memaksimalkan arogansi diri!!! Kita diciptakan olehNya untuk saling melengkapi dan saling berbagi kasih di tengah badai hidup yang menerpa!!!
Di pos 3, ada 3 orang pendaki yang memutuskan untuk tidak melanjutkan pendakian; karena ada seorang yang sakit dan tentu harus ada yang menjaga, sehingga yang melanjutkan pendakian hanyalah 10 orang. Kami terus melanjutkan pendakian… saya tidak ingat berapa banyak coklat yang saya habiskan, berapa mL air yang saya habiskan, berapa banyak kata yang keluar dari mulut saya sebagai omelan, berapa banyak kata sebagai ungkapan syukur, berapa kali saya terpeleset dan jatuh, berapa banyak batu yang sudah saya injak, berapa banyak pohon yang saya lewati, berapa kali saya mengintip handphone dan memang tidak ada gunanya karena jelas tidak ada signal, berapa kali saya merebahkan tubuh di sembarang tempat karena sakit pada vertebrae thoracalis saya yang tidak tertahankan –walau saya ngakunya sangat mengantuk, karena saya tidak ingin mereka khawatir dan tidak meloloskan saya untuk sampai ke puncak-, berapa kali saya memohon pada Tuhan untuk menguatkan saya… Fokus saya… menyelesaikan semua (penderitaan) ini dan sesegera mungkin beristirahat untuk memulihkan kondisi tubuh!!! Tidak ada salahnya bila kita mengarahkan pandangan pada tujuan dan visi hidup kita… Tapi, tidakkah kita sadari bahwa Tuhan menempatkan segala sesuatu yang ada di sekitar kita untuk mewarnai dan memperindah rangkaian perjalanan hidup kita? Bayangkan saja bila tidak ada para rekan, sahabat, saudara sebagai coklat dan air mineral yang mengenyangkan dan melegakan dahaga, yang tak henti memberikan perhatian, dukungan, doa bagi kita… Bayangkan saja bila kita tidak menggunakan perbendaharaan kata milik kita secara bijaksana; lebih banyak omelan ataukah ungkapan syukur, lebih banyak membuat down orang lain ataukah mampu menyemangati orang lain, lebih banyak bergosip ataukah memberitakan “Kabar Baik”, lebih banyak meng-underestimate orang lain ataukah memberikan pujian tulus pada orang lain… Bayangkan saja bila kita tidak pernah jatuh dan terpeleset, kita tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya berjuang untuk bangkit kembali sembari merasakan perihnya luka akibat terjatuh…
Akhirnya sampai juga di pos 5… Kami sampai di sana saat detik-detik menjelang matahari terbit… Keindahan matahari terbit ternyata tidak mampu melampaui keterfokusan saya pada kekesalan dan kejengkelan saya!!! Saya kesel (arti: jengkel) karena saya kesel (arti: letih)!!! Keletihan yang saya rasakan saat itu sungguh sebuah keletihan tiada tara!!! Kalau seandainya ini mimpi buruk, saya ingin cepat bangun!!! Tapi…?! Di balik keletihan yang tiada tara ini… tersimpan kekayaan akan makna kehidupan yang juga tiada tara!!! Saya bersyukur memiliki kesempatan untuk menemukan kekayaan tersebut!!! Tidak banyak orang memiliki kesempatan untuk hal ini!!! Untuk itulah… saya membagikan kekayaan akan makna kehidupan yang saya temukan ini…
Kami singgah di “Mbok Yem” selama beberapa saat untuk makan dan tidur sembari menahan dinginnya suhu udara yang mencapai 5º C… kemudian barulah kami melanjutkan perjalanan… Saya tidak mendapatkan cukup informasi tentang rute seusai pos 5… Saya mulai curiga ketika saya memandang ke atas, kok masih belum puncak… jangan-jangan… pos 5 ini bukan puncak… Dan… pemandu mengatakan pada saya bahwa jarak ke puncak tinggal 300 m lagi… Fiuhhh… saya pun bersyukur… eh… tapi… kami sudah berjalan sangat lama, kok ngga sampai-sampai… Saya pun kembali mengomel… pemandu mengatakan bahwa tinggal 300 m lagi… Apa??? Tadi bilangnya tinggal 300 m, kok sekarang masih tetap kurang 300 m??? Ternyata memang masih kurang 1,8 km lagi!!! 300 meter itu hanya untuk mengelabui saya supaya saya tidak downCapek dechh!!! Hal tersebut menyebabkan saya tidak lagi berhasrat untuk foto-foto saat sampai di puncak; di sana terdapat tugu dan tertancap bendera merah putih di atas tugu… Lhah wes kumus-kumus ga adus sedino, mosok difoto karo mbesengut, tambah ketok ga manusiawi la’an…??; sehingga saat berfoto bersama, saya pun harus memaksakan tersenyum J
Hahaha, selamat!!! Dengan rute dan medan pendakian yang sama, kami harus kembali!!! Ternyata turun gunung jauh lebih menyusahkan, melelahkan, dan menyakitkan karena kemungkinan untuk tergelincir dan terpeleset jauh lebih besar; ditambah lagi dengan turunnya kabut dan hujan… apalagi yang kurang…?!?! Mantappp abisss kannn?!? “Gurauan” apalagi yang harus saya terima… Oh Tuhan, saya ngga kuat lagi!!! Suerrr!! Pengalihan pikiran dalam bentuk apapun tidak berpengaruh bagi saya… Nafas seperti akan berhenti...
Pukul 16.30, kami pun sampai ke pintu gerbang… Selesailah sudah!!! Terimakasih, Tuhan!!! Demikianlah kisah seorang pecinta sepatu high heels, yang melepaskannya demi mendapatkan kekayaan akan makna kehidupan!!! Tidak ada yang setara dengan persoalan mendaki Gunung Lawu; persoalan dalam hidup yang saya anggap paling sukar sekalipun tidak sebanding dengan persoalan mendaki Gunung Lawu!!! Namun… di balik itu… sebanding dengan kekayaan akan makna kehidupan yang saya dapatkan dan telah (dan akan terus) saya bagikan J -dalam “kemasan” lain, melalui perspektif lain, dalam kesempatan lain pula J J-.  




PS: Bagi para CEWEK yang mengaku tomboy, berdandan keseharian tomboy, atau yang pernah mencibir/meremehkan/merendahkan para pecinta high heels, silahkan mendaki Gunung Lawu…!!! J J J Coba dan rasakan…!!!




Madiun, 19 Mei 2011
pukul 15.15 WIB


Erchia -Sang Pecinta High Heels- Chara P.            

Friday, May 6, 2011

Don't be Over Confident!!!

Last few days, an old friend said something to me... “Don’t be over confident! You can’t automatically consider yourself as an important person, as an expected person, as the one is needed by everyone!” Hahayy… Yeah, he’s right!! Most of us considering ourself as an important person, as an expected person, even as the only righteous!! But… have we ever been thinking about it carefully? Have we ever been thinking about ourself honestly?

‘Till our last breath and our last heartbeat, we can’t stop learning about life, and also learning about everything in life… We can’t underestimate others and “close our ears” listening to them… because everyone can be “HIS channel” to remind us, to show our mistake, and also to let us know our capability, so that we give thank to God who gives us strength, gives us intelligence… Based on my old friend’s statement, don’t be over confident… We could have an excellent poin in our lesson/assignment, we could do anything that (always) make others proud of us, we could consider our hard-working as the best we can do and no one can do “the better one”, we could say that no others can do the same thing as we do, etc, but don’t we remember exactly that all of those are God’s gift………….??!! What’s the purpose of underestimating others; all we have are God’s kindness!!!

Don’t be over confident…



May 6th, 2011
Xia Chia

Sunday, May 1, 2011

LOVE YOURSELF!!!!!

I forgot which book I’ve read, said like this,
“The narcissist’s display of self–over is
in itself a sign that he/she can’t find a way adequately to love him/herself.”
How many people in this world such a narcissist?
How many people in this world display him/herself so over?
What does it mean?
Does it mean not okay being extraordinary?
Of course not… Everybody has possibility, opportunity
to make him/herself being extraordinary… but…
One important question:
Does every possibility or opportunity to display him/herself
can be categorized into “the real display”?
Well, at least, almost “the real”…
because as we know together, “the real” one relatively…
The unreal display can be defined as a self-over!!!
For example:
I told to anyone that I’m “the busy one”, by doing this, this, this, and this…
I told to anyone that I’m the leader of this, this, and this important events…
I told to anyone my busy days, my schedule, etc…
And… without any explanation the purpose of telling those things!!
Well… maybe all of those things are really exist, but…
“The way of packaging” those things,
the time and place of telling,
and the “listener”,
are many factors can be forgotten…
The real displays change into the unreal… Change into a self-over!!
Be careful… beware... That’s a sign…
So… Love yourself!! Love the way you are!!
Love your daily, your busy days… by doing the best…
Not doing the best to display the busy days in “a nice package”,
but… really do the best for every duty, responsibility, or assignment…
Without a self-over, everyone shall (truly) proud of your hard-working,
Without a self-over, everyone shall (truly) proud of you!!  


Bromo 10 - Madiun,
May 1st, 2011
Erchia Chara P.