Tuesday, April 19, 2011

Dengarkanlah dengan Seksama Pesan Allah

Yesaya 20:1-21:10

Mari bernostalgia semasa sekolah… Apa yang kita lakukan ketika mendengar Bapak/Ibu Guru kita berkata, “Ayo anak-anak… semuanya duduk!”? Apa yang kita lakukan ketika Bapak/Ibu Guru kita berkata, “Ayo semuanya diam!”? Sebagian dari kita bersedia mendengarkan perkataan dari Bapak/Ibu Guru dan segera melakukannya, namun sebagian dari kita tidak menghiraukan. Maklum anak sekolah… Nah, kira-kira apa yang menjadi alasan kita, yang dulu pernah atau bahkan sering tidak menghiraukan perkataan Bapak/Ibu Guru? "Wujud" Bapak/Ibu Guru yang jelas-jelas tertangkap indra penglihatan saja tidak dihiraukan... bagaimana dengan Tuhan Allah yang tidak tertangkap oleh indra penglihatan kita??!! 

Tema pembelajaran kita bersama pada hari ini, yaitu “Dengarlah dengan Seksama Pesan Allah”. Mengapa tema ini diangkat? Apakah dalam kehidupan keseharian kita selama ini, kita kurang atau bahkan tidak mendengar pesan Allah? Lalu, bagaimana caranya agar dapat mendengarkan pesan Allah? Bagaimana caranya agar dapat mendengarkan pesan Allah secara seksama, bukan hanya mendengar sepintas lalu?
    
Perikop panjang (Yesaya 20:1-21:10) sebenarnya berbicara atau menceritakan tentang apa sich? Perikop tersebut menceritakan bagaimana nabi Yesaya memperingatkan Yehuda agar jangan minta pertolongan dari Mesir yang pada waktu itu didominasi oleh Etiopia, karena Mesir dan Etiopia akan direndahkan dan dipermalukan oleh tentara Asyur. Nah, tapi… apakah peringatan yang diserukan oleh Yesaya didengarkan Yehuda? Tidak… Yehuda tidak mendengarkannya… dan apa akibat dari tidak didengarnya seruan Yesaya tersebut? Mari kita belajar mendengar dengan seksama pesan Allah melalui seruan Yesaya pada Yehuda…   

Asdod adalah sebuah bangsa yang tinggal dekat pantai sebelah barat Yehuda. Pada tahun 713 sM, dengan sokongan Mesir, mereka memberontak dan melawan Asyur. Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh Asyur. Kemudian Asyur menempatkan seorang raja “boneka” untuk memimpin Asdod. Tetapi raja “boneka” ini ditolak oleh rakyatnya. Mereka justru mengangkat Yamin menjadi raja bagi Asdod. Hal ini menimbulkan kemarahan Asyur. Tahun 711 sM, raja Sargon mengirim panglimanya untuk menghukum Asdod. Raja Yamin melarikan diri dan mencari perlindungan ke Mesir, namun di kemudian hari, raja Yamin dikhianati dan diserahkan ke tangan raja Sargon. Pada waktu raja Sargon menumpas pemberontakan di Asdod, orang-orang Asdod mengirim utusan kepada raja Hizkia untuk mengajaknya bergabung dan memberontak kepada Asyur. Sama seperti jaman raja Ahas, nabi Yesaya menasihati raja Hizkia untuk tidak bergabung dan tidak meminta bantuan Mesir dalam melawan Asyur. Akan tetapi nasihat ini ditolak oleh Hizkia. Inilah yang membuat nabi Yesaya berkabung dengan memakai kain kabung. Dalam kehidupan kita yang sarat akan persoalan hidup, seberapa sering kita berupaya keras untuk memikirkan dan merancangkan jalan keluar ataupun solusi bagi setiap persoalan hidup kita? Wah saking seringnya, sampai-sampai tidak lagi mampu terhitung atau bahkan tidak lagi mampu untuk diingat… Mari kita bertanya dalam diri sejenak, siapa sajakah yang ikut berperan dalam proses memikirkan dan merancangkan jalan keluar ataupun solusi bagi persoalan hidup kita? Pasangan kita kah? Orangtua kita kah? Anak-anak kita kah? Sahabat kita kah? Apa saja yang pernah mereka utarakan atau ungkapkan pada kita? Masih ingatkah kita dengan apa saja yang mereka utarakan atau ungkapkan? Wah boro-boro diingat, wong cuman saya dengarkan sepintas lalu… lha pendapatnya ngga masuk akal… lha pandangannya tidak sesuai dengan pandangan saya… lha usulannya justru malah merugikan saya… dst… Kita mengetahui dan bahkan sadar sesadar-sadarnya bahwa Tuhan mampu menempatkan dan memakai orang-orang di sekeliling kita untuk mengingatkan kita, untuk menasihati kita, untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan yang baik, namun… apa yang kita lakukan? Kita hanya sebatas tahu dan sadar, namun kita kurang memiliki kesediaan, kurang memiliki kerendahan hati untuk benar-benar mendengarkan perkataan orang-orang di sekitar kita. Dengan penuh kepercayaan diri kita menilai pandangan ataupun nasihat orang lain tidak lebih baik dari yang telah kita pikirkan… Dengan penuh arogansi kita menganggap pemikiran kita lah yang paling tokcer, sehingga kalaupun kita berkeluh kesah terhadap orang-orang di sekitar kita, itu hanyalah kita anggap sebagai kesempatan untuk menumpahkan perasaan, tidak lebih dari itu… Dan celakanya, ketika persoalan kita tak kunjung usai, atau bahkan makin menumpuk dengan persoalan-persoalan yang lain, kita menyalahkan orang lain sebagai penyebab dari kesusahan kita… kita menyalahkan orang lain tidak memiliki kepedulian ataupun empati pada kita… bahkan kita menyalahkan Tuhan yang kita anggap tidak mengulurkan tanganNya pada kita untuk menolong… Hehe, saya kan masih manusia… jadi wajar lah kalo demikian… jadi maklum lah kalo demikian… Itulah kecenderungan kita… ketika kita menyadari letak ketidak-beresan diri kita, kita pasti membenarkan diri dengan beragam alasan… itulah kecenderungan kita… Apakah kecenderungan kita yang demikian merupakan kecenderungan yang mutlak tidak baik untuk dimiliki? Lantas… adakah kecenderungan lain yang paradoks dengan ini, sehingga paling tidak mampu kita anggap memberikan inspirasi bagi sikap hidup yang lebih baik?      

Kita perhatikan ayat-ayat berikutnya (ayat 2 dst). Ditinjau dari kata Ibrani, kata “telanjang” mempunyai arti: tidak memakai busana apapun, tidak memakai senjata apapun, tidak memakai baju luar atau baju kebesaran jika ia adalah seorang raja atau seorang kaya. Jadi kata “telanjang” bisa berarti: (1) Nabi Yesaya tidak memakai baju luar. Ia hanya memakai baju dalam. (2) Nabi Yesaya berjalan dengan telanjang tanpa busana sama sekali. Hal ini sangat mungkin dilakukannya mengingat tujuan tindakan ini adalah untuk memberitahu bahwa Mesir dan Etiopia akan dipermalukan. Berapa lama nabi Yesaya telanjang? Nabi Yesaya melakukannya hanya beberapa saat saja. Jika hal itu dilakukan selama 3 tahun setiap harinya maka tindakan tersebut tidak lagi menjadi sesuatu yang luar biasa, dan sebagai sebuah tindakan simbolik tidak lagi menarik perhatian masyarakat. Maksud dari tindakan simbolis yang dilakukan oleh nabi Yesaya adalah bahwa Tuhan akan memperlakukan orang Mesir dan orang Etiopia sama persis seperti apa yang dilakukan oleh nabi Yesaya. Mereka akan digiring sebagai tawanan dan sangat dipermalukan. Pada ayat yang ke-6, yang disebut sebagai “orang” dalam ayat ini adalah bangsa Yehuda, sedang yang disebut sebagai “penduduk tanah pesisir” adalah penduduk Asdod. Mereka semua akan merasa malu dan terkejut, karena bangsa yang mereka andalkan untuk melawan Asyur akan dikalahkan. Seruan putus asa pada ayat ke 6 ini akan diserukan kepada Yehuda dan Asdod, karena mereka mengandalkan manusia. Manusia… diciptakan oleh Allah dengan sempurna, menurut gambar dan rupa Allah… Kita memiliki perangkat paling canggih, lebih canggih dari teknologi apapun di masa kini… yakni… kita memiliki otak… dengan kemampuan olah pikir yang luar biasa… Siapa sich di antara kita yang tidak berbangga dengan otak yang kita miliki? Bahkan dalam proses dan tahap-tahap keberimanan kita kepada Allah pun, kita tetap memberi tempat pada otak kita… Namun… kemampuan olah pikir kita juga membuat kita menilai segala sesuatunya sebagai hal-hal yang perlu untuk dibuktikan kebenarannya. Kita berupaya melogiskan segala sesuatu… dan bahkan kita hanya mempercayai apa yang terlihat oleh indra penglihatan kita… apa yang dapat dirasakan oleh panca indra kita… Oleh karena itu, kita pun memiliki kecenderungan untuk mengandalkan kekuatan, kuasa, pengaruh dari yang tertangkap oleh panca indra kita, yakni sesama manusia… Kecenderungan yang kedua ini seakan paradoks atau bertentangan dengan kecenderungan yang pertama, dimana kita tidak mempercayai sumbangsih pemikiran yang orang lain berikan pada kita. Namun… sebenarnya keduanya bukan paradoks, namun seperti dua sisi pada satu keping uang logam. Keduanya merupakan kecenderungan yang tidak terpisahkan. Kecenderungan kita untuk mengandalkan kuasa, pengaruh, dan kekuatan manusia secara mutlak, ternyata menggeser kesempatan dan kemampuan kita untuk mengandalkan kuasa, pengaruh, dan kekuatan dari Tuhan Allah… Seberapa sering kita mengandalkan kekuatan manusia ketika kita berada dalam posisi yang terjepit? Seberapa sering kita merasa tidak lagi sanggup menghadapi kehidupan yang berat menekan? Seberapa sering kita berpikir tidak ada lagi jalan keluar ataupun solusi bagi segala persoalan hidup kita? Barangkali kita telah mengandalkan atau bersandar pada Tuhan Allah… Namun, mari kita jujur sejujur-jujurnya, bagaimana bila dari hari ke hari ternyata bukannya mendapatkan pertolongan berupa jalan keluar, malah persoalan makin bertambah, makin terasa berat, makin kompleks, makin ruwet, apakah kita tetap akan bersyukur untuk kesempatan bagi kita dapat bersandar pada Tuhan? Hehe… tentu tidak, yang ada malah protes habis-habisan pada Tuhan, mempertanyakan mengapa semua ini terjadi, mempertanyakan keberadaan Tuhan sebagai sandaran hidup kita, dst… Lantas… mana pesan Allah di tengah situasi yang menekan seperti ini? Mana pesan Allah di tengah kesulitan hidupku? Mana? Kok kayaknya bukan pertolongan yang aku dapatkan, tapi malah setumpuk persoalan yang makin hari makin menumpuk setinggi gunung…               

Puting beliung di tanah Negeb (tanah di bagian Selatan Palestina yang terdiri dari padang gurun yang kering) memang sangat dahsyat, karena angin puting beliung ini menerbangkan butir-butir pasir panas yang menimbulkan banyak kerusakan dan korban. Kata-kata nabi Yesaya ini ingin mengingatkan bahwa ucapan Ilahi berisi sesuatu yang mengerikan, akan ada banyak kerusakan dan korban. Menjelang kejatuhan bangsa Babel, bangsa-bangsa lain mulai memberontak, penjarahan terjadi di mana-mana dan Babel dikepung oleh Bangsa Elam dan Madai. Penglihatan tentang kerusakan dan kengerian yang akan dialami Babel begitu menakutkan, sehingga nabi Yesaya yang menerima penglihatan ini pun merasakan sakit fisik yang tidak terkira, seperti orang melahirkan. Sakit yang tidak terperi itu membuat nabi Yesaya tidak sadarkan diri. Dapat dibayangkan betapa kerusakan dan kengerian yang akan dialami oleh Babel begitu menakutkan… begitu menyakitkan… Sudah tidak ada lagi kebiasaan-kebiasaan yang menyenangkan yang dapat dilakukan pada masa itu. Malam hari, yang seharusnya menjadi saat di mana orang beristirahat dan berkumpul bersama keluarga, menjadi malam teror yang menakutkan. Keadaan istana, yang biasanya penuh dengan pesta pora, menjadi keadaan yang menegangkan dengan bersiaga penuh untuk menghadapi serangan musuh. Barangkali itulah yang sedang kita rasakan, atau mungkin pernah kita rasakan… Persoalan hidup yang menekan dan membuat kita benar-benar terjepit… tidak ada lagi saat-saat menyenangkan walau sebentar saja… Sepertinya detik demi detik merupakan momok bagi kita… yang terus mengingatkan kita bahwa persoalan kita segera menuntut jalan keluar atau solusi, kalau tidak, habislah kita… Tuhan memerintahkan agar nabi Yesaya menempatkan seorang pengintai yang bertugas untuk mengawasi kalau-kalau ada utusan yang datang memberitahukan kemenangan Babel. Dan utusan itu pun akhirnya datang. Bukan untuk memberitahu tentang kemenangan tentara Babel, tetapi justru memastikan bahwa Babel sudah jatuh ke tangan musuh. Waduh, jangan sampai lah nasib saya seperti itu… Saya ndak kepengen hasil akhirnya ternyata… saya ndak memenangkan persoalan hidup saya…   Nabi Yesaya menegaskan kepada pendengarnya bahwa apa yang ia sampaikan sungguhlah berasal dari Allah Israel yang menguasai semesta alam. Secara implisit seruan ini juga mengingatkan Israel dan Yehuda bahwa Tuhan mengetahui secara tepat apa yang akan dialami Babel. Bagaimana dengan kita, kalau ternyata pada akhirnya kita tidak memenangkan persoalan hidup kita, kita harus bagaimana? Kita merasa kecewa, pasti… bahkan mungkin kita merasa frustasi, depresi… dan lunglai-lesu untuk menjalani kehidupan… itu manusiawi… Oleh karena itu, ajakan untuk kita sekalian… Mari dengan rendah hati kita bersedia membuka diri, membuka lebar-lebar mata hati, pikiran kita, untuk mendengar pesan Allah dengan seksama… (1) Melalui perkataan, nasihat, usulan, pandangan, pertimbangan, pendapat orang-orang di sekitar kita dan (2) dengan tetap mempercayakan kehidupan kita seutuhnya dan seluruhnya pada Sang Sumber Kehidupan, yaitu Allah sendiri… tidak ada kata terlambat… Allah kita adalah Allah yang sanggup memulihkan keadaan kita… bagaimanapun terperosoknya keadaan kita saat ini… bagaimanapun menyedihkannya kondisi kita saat ini… bagaimanapun lemahnya diri kita ini… Berpengharapanlah hanya kepada Sang Sumber Kehidupan, karena Sang Sumber Kehidupan tidak akan pernah mengecewakan...

Ajaib kau Tuhan… penuh kuasa…
Sanggup pulihkan keadaanku…
Dalam tanganMu s’luruh hidupku…
tak akan goyah selamanya…

Bromo 10 – Madiun
19 April 2011 pk 13:48 WIB
Erchia Chara

No comments:

Post a Comment