Penilaian pribadi terhadap dinamika kehidupan mengalami perubahan seratus delapan puluh derajat. Dulunya saya menilai relasi sebagai kesenangan semu yang selalu berujung pada pementingan diri sendiri, kini tidak lagi demikian. Penemuan tentang kehidupan yang ternyata sarat akan relasi mampu membentuk saya untuk berketetapan menentukan sikap terhadap beragam relasi yang terjalin, yakni sikap menghargai penuh keberadaan orang lain, termasuk di dalamnya segala pemikiran dan perasaan orang lain.
Dalam perjalanan satu bulan bergandengan tangan bersama dengan anggota jemaat di sini untuk mengerjakan tugas perutusan Allah di dunia, ada banyak hal yang terjadi; termasuk di dalamnya persoalan atmosfer penghargaan terhadap relasi. Atmosfer “kegamblangan” di sini bukan hanya menyadarkan saya pada kehidupan yang sarat akan relasi (seperti yang terungkap pada alinea pertama), namun juga menyadarkan pentingnya tidak mengukurkan parameter milik saya (untuk mengukur diri sendiri) pada orang lain. Bagi saya, ketika orang lain menyampaikan secara gamblang, baik berupa kritik-saran membangun, pun juga penilaian-penilaian tertentu terkait dengan saya dan hal-hal yang saya kerjakan, itu sangat berharga dan memampukan saya untuk melangkah menjadi pribadi yang lebih baik; tentu kegamblangan yang tersampaikan telah melalui proses penilaian dan refleksi pribadi dari saya, tidak serta-merta membuat saya menilai kegamblangan itu semata-mata sebagai PR untuk saya kerjakan, karena jika demikian maka saya akan menjadi pribadi yang hanya ingin menyenangkan orang lain dan menjadi seperti yang orang lain inginkan. Kegamblangan dari orang lain kepada saya tidak berarti membuat saya memberlakukan hukum distributif secara matematis; di mana saya pun dapat ikut serta dalam atmosfer kegamblangan tersebut. Saya berkecenderungan untuk lebih banyak mendengar daripada berkomentar atau berbicara, sehingga ketetapan untuk bersikap menghargai penuh keberadaan orang lain tidak terbatas pada idealisme belaka. Tidak berarti bahwa saya tidak menginginkan sesama mendapatkan hal berharga yang memampukan (mereka) untuk melangkah menjadi pribadi yang lebih baik, ketika saya tidak ikut serta dalam atmosfer kegamblangan tersebut. Saya memilih untuk memikirkan dan melakukan cara lain apabila diperhadapkan pada waktu dan kesempatan untuk membagikan hal-hal berharga bagi sesama demi kemajuan.
Kesemuanya itu mengantarkan saya pada pertanyaan-pertanyaan terkait pentingnya menghargai kehidupan, menghargai relasi, menghargai orang lain, yakni “Apa yang ada di balik itu semua?” “Apa yang menyebabkan lahirnya kesadaran itu?” Jangan-jangan saya terjerumus pada keinginan untuk berdampak positif bagi sesama, atau malah lebih parah lagi sebatas pada keinginan untuk dikenang sebagai pribadi yang berupaya memberikan dampak positif. Padahal apabila dirunut, keinginan tersebut mengantarkan saya pada kesadaran bahwa itu juga merupakan upaya pementingan diri sendiri, namun terselubung. “Ataukah pemikiran ini terlalu negatif?” “Bukankah saya adalah terang dan garam dunia?” Pertanyaan ini mengantarkan kembali pada sebuah penilaian yang positif pada keinginan untuk berdampak positif bagi sesama. Namun, proses supervisi membuat kesimpulan tersebut berubah menjadi hipotesis yang menuntut adanya “penelitian” kembali. Supervisor juga menutup proses supervisi dengan mengatakan bahwa tidak selalu keinginan menjadi kenyataan; tidak selalu kehadiran mampu berdampak positif bagi sesama di sekitar.
Jadi…
“Untuk apa saya di sini?”
Di sini,
untuk tetap mengupayakan sikap menghargai kehidupan, relasi, dan
orang lain…
orang lain…
Madiun, akhir Februari 2011
# Xia Chara #
No comments:
Post a Comment