Wednesday, April 13, 2011

Bulan Mengenal dan Mengembangkan Diri #2

Sebuah Refleksi untuk Belajar Berefleksi

Bulan kedua… merupakan bulan yang telah tak henti menghujani saya dengan beragam kekayaan… Saya menjadi menyadari… menyadari bahwa ternyata sembari menapaki perjalanan hidup, tidak dapat tidak membuat saya melihat, menemukan, merasakan, bahkan memiliki beragam kekayaan tersebut… Dalam proses maupun momen melihat, menemukan, merasakan, dan memiliki, sangat sarat dengan perjumpaan… perjumpaan dengan pribadi-pribadi lain yang juga sedang melakukan “lutu” hidup… atau bahkan pribadi (-pribadi) yang memang Tuhan tempatkan untuk menjadi partner saya dalam menapaki “lutu” hidup…

Kalau seusai “perkunjungan stage” (13 Maret 2011 lalu) saya menempelkan pada dinding kamar secarik kertas yang bertuliskan lirik sebuah lagu PKJ yang demikian bunyi liriknya, “Tuhan mengutus kita ke dalam dunia…….. meski dihina serta dilanda duka, harus melayani dengan sepenuh.” akibat dari beberapa pengalaman yang saya anggap, saya nilai, saya pikir, saya kategorikan sebagai “hinaan” dan “duka”, maka ternyata itu malah melemahkan saya… mengapa? Karena dalam kelanjutan menapaki perjalanan hidup, saya menjadi berkecenderungan untuk menganggap, menilai, berpikir, mengkategorikan segala sesuatunya sebagai “hinaan” ataupun “duka”… sehingga saya pun keukeh menganggap diri saya sebagai “pihak yang benar” harus (bertahan dan kuat) melayani dengan sepenuh walau dihina serta dilanda duka… Padahal… itu baru dipandang dari satu perspektif… Bagaimana kalau seandainya saya memang belum melayani dengan sepenuh, belum melayani dengan seluruh keberadaan saya, belum melayani dengan segenap potensi yang saya miliki, belum melayani dengan keutuhan motivasi, belum melayani dengan perasaan murni, sehingga membuat saya (pantas) untuk “dihina” ataupun “dilanda duka”?? Nah lohh… Terlalu negative thinking kah?? Bukankah memang Tuhan sebagai Sang Pengutus selalu ada untuk menopang, untuk memampukan, untuk menguatkan di kala saya sedang (berpikir bahwa saya) dilanda duka ataupun dihina?? Bukankah penyertaan dan perlindungan Sang Pengutus yang saya rasakan di setiap inci kehidupan merupakan bukti nyata bahwa Sang Pengutus mengutus saya untuk menapaki perjalanan hidup yang sepaket dengan “hinaan” dan “duka”?? Bagaikan keping logam dengan kedua sisinya… Merasakan penyertaan, perlindungan, topangan, kekuatan dari Sang Pengutus di kala mendapat “hinaan”, di kala “dilanda duka”… Pun juga was-was jangan-jangan saya-nya yang lebay dengan menganggap, menilai, berpikir, dan mengkategorikan hal-hal tertentu sebagai “hinaan” ataupun “duka”…     

Padatnya kegiatan-kegiatan membuat saya terus berjalan… berjalan… dan berjalan… Hal tersebut menyadarkan saya bahwa lamanya “t” (rumus fisika: waktu) melakukan perjalanan hidup tergantung pada “v” (rumus fisika: kecepatan). Semakin sibuk, semakin tidak terasa… sudah melewati satu bulan lagi… Tetapi apakah hanya melewati dan menjalani tanpa ada pemaknaan khusus terkait dengan visi saya?? Di bawah salib Yesus ‘ku ingin berhenti yaitu cadas yang teguh, pelindung yang letih. Tempat musafir berteduh di jalan yang berat; naungan di panas terik bagiku yang penat merupakan sebuah lagu yang sering dinyanyikan saat persekutuan, kebaktian doa, bahkan dinyanyikan saat kebaktian hari Minggu. Namun… Kesibukan dan rutinitas membuat saya sebagai seorang musafir yang melakukan “lutu” hidup lupa (atau pura-pura lupa??) untuk melakukan upaya bersengaja berhenti di bawah salib Yesus… Padahal Yesus selalu menyediakannya bagi para musafir untuk berteduh, untuk bernaung, sebagai sebuah undangan, sebagai sebuah kesempatanLagi-lagi saya menjadi terjerumus pada pemikiran bahwa saya sedang letih, saya sedang berjalan menapaki “lutu” yang berat, saya sedang penat, dst… Jangan-janganitu semua hanya legitimasi pribadi supaya saya tidak “berjuang” atau “bekerja” lebih keras, lebih giat, lebih tekun, lebih sungguh-sungguh… Sebuah kalimat dalam novel spiritualis karya Paulo Coelho pernah “terekam” dalam memori saya, demikian bunyinya, “Orang-orang sibuk selalu memiliki cukup waktu untuk semua hal. Mereka yang tidak pernah melakukan apapun selalu merasa letih dan tidak memperhatikan pekerjaan mereka yang berbeban sedikit. Mereka sering mengeluh hari terlampau singkat. Sebenarnya, mereka hanya takut berjuang dengan sekuat tenaga…  Dua bulan yang menyenangkan, sekaligus melelahkan… Kini dan di sini… sudah, sedang, dan akan merasakan (se)kelumit kehidupan berjemaat… Lalu bagaimana? Apakah (beragam) pilihan dan keputusan penuh kesadaran sudah merupakan langkah (-langkah) untuk menggapai visi hidup saya?    

Kembali berbicara tentang kesibukan… Lagi-lagi ini hanyalah satu perspektif… Dikatakan pada saya, baik tersirat maupun tersurat, baik secara verbal maupun bahasa tubuh, “Kamu itu sibuk apa sich??” Tidak pernah ada yang tahu (atau tidak mau tahu??) bahwa “pelayanan bayangan” lebih tinggi frekuensinya dibanding dengan pelayanan yang terlihat oleh indra penglihatan dan terdengar oleh indra pendengar (seperti: khotbah). Bahkan… beberapa orang juga mendefinisikan khotbah sebagaikhotbah” bila audience-nya adalah orang-orang dengan kategori usia dewasa yang hadir dalam kebaktian Umum 1 dan 2. Dengan kata lain, kebanyakan[1] anggota jemaat menganggap Kebaktian Pemuda dan Kebaktian Pos Caruban sebagai kebaktian “level dua” sehingga segala kelengkapan dan persiapan kebaktian sedikit dikesampingkan (tiba-tiba tidak ada pemandu pujian, pemain musik tidak berlatih, jumlah penatua yang bertugas hanya dua orang, dll). Pemahaman yang demikianpun ternyata sukar untuk dibuka sekatnya menjadi pemahaman yang sedikit lebih luas dari itu… Supervisorpun meng-iya-kan perihal tersebut… sudah menjadi sebuah pergumulan di sini untuk mengubah pemahaman dan persepsi anggota jemaat… ini barulah salah satu dari sekian banyak pergumulan terkait dengan pemahaman dan persepsi… Lalu, bagaimana menerjemahkan produk kognisi ke dalam tindakan nyata? Beragam pembinaan di masa lalu terkait dengan esensi teologis sebuah kebaktian belum mampu menggoyahkan sekat-sekat pemahaman dan persepsi anggota jemaat… Lantas… proyek (kesekian) yang diusulkan oleh supervisor untuk digarap ini harus dimulai dari mana? Siapa saya di sini? Jangan-jangan pemahaman dan persepsi saya pun tidak lebih luas dari pemahaman dan persepsi anggota jemaat (dalam lingkup yang lebih general, bukan hanya soal kebaktian). Jangan-jangan kaum akademisi sudah merasa pintar dan lebih tahu? Dan sekali lagi mengantarkan saya pada pertanyaan: siapakah saya di sini? Haruskah saya (sebagai pihak yang) mengungkapkan, memberikan penjelasan/ulasan, mengutarakan argumen terkait dengan hal-hal yang ada dalam kehidupan berjemaat?     

Berjalan… berjalan… dan terus berjalan… Melihat, menemukan, merasakan, dan memiliki kekayaan-kekayaan… Bagi saya, ini semua adalah kekayaan yang tidak ternilai… dan tidak tergantikan… Dengan tidak menutup kemungkinan bahwa bisa saja ini semua dianggap, dinilai, dikategorikan (oleh orang lain) sebagai bukan kekayaan… Berbagi kekayaan… mampu memperkaya kekayaan itu sendiri… Namun, untuk apa kesemua kekayaan tersebut? Apakah sebagai bekal melanjutkan “lutu” hidup? Lantas, bagaimana mengelolanya agar dapat berfungsi sebagai bekal??  

Di jalanku ‘ku diiring oleh Yesus, Tuhanku.
Apakah yang kurang lagi, jika Dia Panduku?
Diberi damai sorgawi, asal imanku teguh.
Sukaduka dipakaiNya untuk kebaikanku;
Sukaduka dipakaiNya untuk kebaikanku.
(K J 408:1)

Apalagi yang kurang bila yang menjadi Pandu hidup adalah Yesus sendiri?? Apalagi yang kurang?? Eits… Apakah ini sebuah pegangan hidup…? Ataukah sebuah pelarian…? Mengingat bahwa lirik-lirik lagu-lagu yang dapat “berbicara” pada saya ditentukan pula oleh suasana hati maupun pergumulan yang telah dan sedang dihadapi… Entah sebuah pegangan hidup ataukah pelarian, namun itu tetap kekayaan terindah dalam hidup… dipandu oleh Yesus saat menapaki “lutu” hidup… Dengan selalu mengingat bahwa kepekaan untuk menyadari dan merasakan panduan Yesus itulah yang menjadi PR seumur perjalanan… Selamat melanjutkan “lutu” hidup, Erchia… J dengan tak henti melatih diri untuk peka terhadap panduan Yesus…   




Jl. Bromo 10, Madiun,
12 April 2011
Erchia Chara


[1] Menurut hasil wawancara dengan beberapa anggota jemaat didukung oleh informasi dari supervisor.

No comments:

Post a Comment